Rabu, 06 Maret 2013
Proses Persebaran Islam di Indonesia-
Islamisasi di Indonesia melibatkan banyak faktor: perdagangan,
pendidikan, politik, serta semangat “jihad” masyarakat muslim. Para
ulama (syekh, wali, kyai) memegang peranan penting dalam hal ini. Di
bawah ini akan diuraikan proses pengislaman di berbagai wilayah di
Indonesia.
1. Proses Islamisasi di Indonesia
Proses
persebaran Islam di Indonesia berlangsung lancar relatif damai.
Kelancaran ini dikarenakan syarat-syarat untuk memeluk Islam tidaklah
sukar. Seseorang dianggap telah menjadi muslim bila ia mengucapkan dua
kalimat syahadat, yaitu pengakuan bahwa “tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah”.
Upacara-upacara dalam Islam juga cenderung lebih sederhana daripada
upacara dalam agama Hindu atau Buddha. Salah satu bukti Islam mudah
diterima adalah ketika raja Ternate yang nonmuslim tidak keberatan
ketika sejumlah rakyatnya memeluk Islam. Bukti lainnya dalah adanya
makam bangsawan Majapahit yang beragama Islam. Menurut catatan Tome
Pires, kaum bangsawan Hindu-Buddha di Jawa masuk Islam dengan sukarela
tanpa paksaan. Penyebaran Islam disampaikan sesuai dengan adat dan
tradisi pribumi Indonesia. Islam juga tidak mengenal pengkastaan dan
menganggap derajat manusia itu sama.
Faktor
lain yang mengakibatkan Islam berkembang adalah keruntuhan Majapahit.
Akan tetapi, tidak selamanya proses persebaran Islam di Indonesia,
khususnya di Jawa, berlangsung damai. Menurut Tome Pires, para pedagang
asing yang muslim menetap dan membuka pemukiman tersendiri di sejumlah
pelabuhan; selanjutnya pemukiman tersebut dijadikan kubu pertahanan
mereka dalam menjalankan roda perdagangannya. Setelah kekuatan mereka
dirasakan kuat, mereka kemudian menyerang bandar-bandar bersangkutan
untuk dikuasai. Cara-cara kekerasan seperti ini terjadi, misalnya, di
bandar-bandar Demak dan Jepara. Sedangkan, proses pengislaman secara
damai dilakukan di pantai utara Jawa Timur, seperti di Tuban dan Gresik.
Kedudukan kaum pedagang ini menarik sejumlah penguasa Indonesia untuk
menikahkan anak gadisnya dengan mereka. Sebelum menikah, si gadis
menjadi muslim dahulu. Perkawinan ini lalu membentuk keluarga muslim
yang berkembang menjadi masyarakat muslim. Beberapa tokoh penting (raja
dan para ulama atau wali Islam) melakukan perkawinan jenis ini. Raden Rahmat (Sunan Ampel) menikah dengan Nyai Manila, Sunan Gunung Jati dengan Puteri Kawunganten,
Raja Majapahit Brawijaya V menikahi seorang puteri Campa yang muslim
yang kelak menurunkan Raden Patah, raja Demak pertama. Bahkan di antara
para wali ada yang pernah berdagang pada masa mudanya. Menurut Babad Gresik,
Sunan Giri pada masa mudanya adalah anak angkat Nyai Gede Pinatih,
seorang pedagang wanita Cina yang kaya di Gresik. Giri muda pernah pergi
ke Kalimantan Selatan untuk urusan bisnis. Sunan Bayat atau Ki Gede
Pandang Arang pernah pula bekerja pada wanita penjual beras. Sunan
Kalijaga pernah pula berjualan alang-alang.
Selain
melalui perkawinan, jalur kesenian digunakan oleh para wali dalam
proses islamisasi. Pertunjukan wayang merupakan salah satu sarana
kesenian yang digunakan. Tokoh Wali Sanga yang mahir mementaskan wayang adalah Sunan Kalijaga. Kisah yang dipentaskan dikutip dari kakawin Mahabharata atau Ramayana peninggalan
masa Hindu-Buddha yang kemudian disisipi nilai-nilai Islam. Selesai
pertunjukan, sang dalang tidak meminta upah melainkan mengajak penonton
untuk mengucapkan kalimat syahadat.
Tidak
ketinggalan, jalur pendidikan pun ditempuh dalam islamisasi ini. Para
ulama mendirikan pondok-pondok pesantren (pesantrian) yang terbuka bagi
siapa pun untuk belajar menjadi santri. Setelah selesai belajar di
pesantren, mereka kembali ke daerah asal dan berdakwah mengajarkan Islam
atau disuruh guru mereka menyiarkan Islam di daerah lain. Tak jarang,
orang-orang jebolan pesantren ini tinggal di rumah-rumah para pedagang.
Bahkan, seringkali dari mereka yang menjadi pengurus harta (bendahara)
kaum pedagang sekaligus memimpin usaha dagang tuan rumah mereka. Kaum
ulama yang mendirikan pesantren antara lain: Raden Rahmat di Ampel,
dekat Surabaya dan Raden Paku di Giri. Beberapa lulusan Sunan Giri
diundang ke Maluku untuk mengajarkan Islam di sana.
2. Peranan Para Wali dalam Islamisasi
Penyebar Islam yang terkenal di Indonesia, khususnya Jawa, disebut Wali Sanga. Wali
ini merupakan adalah dewan mubalig di Jawa yang berbasis di Demak
sebagai pusat kegiatan politik dan agama Islam. Tiap wali tersebut
pernah menjadi imam pada waktu shalat berjamaah di Masjid Agung Demak.
Apabila salah satu anggota dewan wali ini wafat, ia akan digantikan oleh
wali lainnya berdasarkan musyawarah. Tiap-tiap wali dan
panggantinya
mempunyai tugas penyiaran agama Islam di Pulau Jawa. Mereka dipanggil
dengan sebutan “sunan”, yang berasal dari kata “susuhunan”, kata bagi
orang yang terpandang di masyarakat.
a. Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim berasal dari Persia (Iran), kemudian berkedudukan di Gresik, Jawa Timur, dan dikenal sebagai Susuhunan atau Sunan Gresik, meninggal pada 1419 M. Ia yang diduga menyebarkan Islam di Jawa ketika Majapahit masih memerintah. Ia dikenal dengan nama Maulana Magribi/Syekh Magribi karena
diduga berasal dari Magribi, Afrika Utara. Diperkirakan Sunan Gresik
lahir sekitar pertengahan tahun 1350. Setelah dewasa ia menikah dengan
seorang putri bangsawan ternama Dewi Candrawulan, putri pertama Ratu Campa yang telah menganut Islam (isteri Raja Brawijaya V Majapahit). Dakwahnya yang simpatik dan arif menyebabkan penduduk lebih cepat menerima Islam.
b. Sunan Ampel atau Raden Rahmat
Sunan
Ampel (Ngampel), berkedudukan di Ampel Denta di Giri, dekat Surabaya;
dan dikabarkan berasal dari Campa, Vietnam (sama dengan ibunya Raden
Patah). Nama aslinya adalah Raden Rahmat, putra Maulana
Malik Ibrahim dari Dewi Candrawulan. Raden Rahmat dikenal sebagai
perencana pertama kerajaan Islam di Jawa dan penerus cita-cita serta
perjuangan ayahnya dan mendirikan pesantren di Ampel Denta di Jawa
Timur. Ia berhasil mendidik para pemuda Islam untuk menjadi tenaga dai atau ahli kotbah (mubalig)
yang akan disebar ke seluruh Jawa. Di antara pemuda yang dididik adalah
Raden Paku (Sunan Giri), Raden Fatah (Sultan Demak), Raden Makhdum
Ibrahim (Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat), serta Maulana Ishak
yang pernah diutus mengislamkan rakyat di daerah Blambangan. Sunan Ampel
cukup berpengaruh di kalangan istana Majapahit, bahkan isterinya pun
berasal dari kalangan istana. Ia tercatat sebagai peletak dasar
penyebaran politik Islam ke Nusantara. Ia juga ikut andil dalam
mendirikan Masjid Agung Demak tahun 1479 bersama wali-wali yang lain.
Pada awal islamisasi di Jawa, Sunan Ampel menginginkan agar masyarakat
menganut keyakinan yang murni. Ia tidak setuju kebiasaan masyarakat
Jawa, seperti kenduri, selamatan, sesajen, dan sebagainya tetap hidup
dalam Islam. Namun, wali-wali yang lain berpendapat, untuk sementara
kebiasaan tersebut dibiarkan saja karena masyarakat sulit
meninggalkannya secara serentak. Akhirnya Sunan Ampel setuju. Ia juga
menyetujui ketika Sunan Kalijaga dalam usaha menarik penganut Hindu dan
Buddha, mengusulkan agar adat-istiadat Jawa diberi warna Islam. Namun
Sunan Ampel tetap khawatir adat-istiadat dan berbagai upacara ritual
Islam kelak menjadi bid’ah. Sunan Ampel wafat tahun 1481 dan dimakamkan di Surabaya.
c. Sunan Bonang
Nama aslinya Raden Maulana Makhdum Ibrahim. Arti makhdum adalah ulama besar yang harus dihormati. Ia putra Sunan Ampel dari perkawinannya dengan Dewi Candrawati. Sunan ini berkedudukan di Bonang, dekat Tuban. Sunan Bonang dianggap sebagai pencipta gending untuk
mengembangkan ajaran Islam di pesisir utara Jawa Timur. Setelah belajar
Islam di Pasai (Aceh) ia kembali ke Tuban, Jawa Timur untuk mendirikan
pondok pesantren. Santri-santri yang belajar kepadanya datang dari
berbagai pelosok Nusantara. Dalam menyebarkan agama Islam selalu
menyesuaikan diri dengan corak kebudayaan Jawa. Ia menggunakan
pertunjukan wayang sebagai media dakwahnya. Lagu gamelan wayang
berisikan pesan-pesan ajaran agama Islam. Setiap bait diselingi ucapan syahadatain (ucapan dua kalimat syahadat). Kemudian dikenal dengan istilah sekatenan.
Dalam
kegiatan dakwahnya Sunan Bonang menjadikan pesantrennya sebagai basis
pendidikan agama Islam secara khusus dan mendalam. Catatan pendidikannya
kemudian dibukukan dalam buku Suluk Sunan Bonang atau Primbon Sunan Bonang. Buku ini sekarang masih tersimpan di Universitas Leiden Belanda. Sunan Bonang wafat tahun 1525 dimakamkan di Tuban.
d. Sunan Drajat
Sunan Drajat adalah putra Raden Rahmat, berkedudukan di Drajat, dekat Sedayu. Nama kecilnya Raden Kosim atau Syarifudin. Disebut juga dengan Sunan Sedayu karena
dimakamkan di daerah Sedayu. Menurut silsilah Sunan Drajat adalah putra
Sunan Ampel dari istri kedua bernama Dewi Candrawati. Dalam musyawarah
para Wali diputuskan, siapa yang mengganti Sunan Ampel untuk memimpin
pesantren Ampel Denta. Dan pilihan jatuh pada Sunan Drajat. Ia terkenal
dengan kepandaiannya membuat tembang Pangkur. Hal yang paling
menonjol dalam dakwah adalah perhatiannya terhadap masalah sosial. Ia
mempunyai jiwa sosial yang tinggi dan berorientasi pada
kegotong-royongan. Sunan Drajat wafat pertengahan abad ke-16 dimakamkan
di Sedayu, Gresik.
e. Sunan Giri
Sunan Giri, murid Sunan Ampel, berkedudukan di Giri, dekat Gresik. Nama kecilnya Raden Paku disebut juga Prabu Satmata dan sering dijuluki Sultan Abdul Fakih. Ia putra Maulana Ishak yang ditugasi Sunan Ampel menyebarkan agama Islam di daerah Blambangan. Salah seorang saudaranya adalh Raden Abdul Kadir (Sunan
Gunung Jati). Pendidikannya adalah tamatan pesantren di Pasai (Aceh).
Ketika beranjak dewasa, Raden Paku belajar di Pesantren Ampel Denta.
Berkenalan dengan Raden Maulana Makhdum Ibrahim. Keduanya bersahabatan
hingga menunaikan ibadah haji ke Mekah.
Selama di pesantren Pasai, Raden Paku menimba ilmu ketuhanan, keimanan, dan tasawuf. Tingkat terakhir adalah ilmu laduni sehingga gurunya menganugerahi gelar Ain al-Yaqin dan masyarakat menyebutnya dengan Raden Ainul Yakin.
Sunan Giri sangat berpengaruh terhadap jalannya roda-roda Kesultanan
Demak Bintoro. Setiap keputusannya selalu disetujui oleh wali-wali
lainnya. Sunan Giri wafat tahun 1600, dimakamkan di Bukti Giri, Gresik.
f. Sunan Muria
Nama kecilnya Raden Pratowo sedangkan nama aslinya Raden Umar Said.
Ia lebih dikenal dengan nama Sunan Muria karena kegiatan dakwahnya
dilakukan di Gunung Muria (18 km sebelah Utara Kota Kudus). Sunan Muria
dalam berdakwah memilih daerah pelosok terutama desa terpencil. Sistem
dakwah yang disampaikan dengan memberi pendidikan singkat pada kaum
pedagang, para nelayan, dan rakyat pedesaan. Cara berdakwah selalu
dengan menyisipkan tembang Sinom dan Kinanti yang bernafaskan Islam. Sunan Muria wafat abad ke-16 dimakamkan di Bukit Muria, Jepara.
g. Sunan Kalijaga
Nama aslinya Joko Said, anak Bupati Tuban Raden Tumenggung Wilwatikta. Ibunya bernama Dewi Nawang Rum,
berkedudukan di Kadilangu, dekat Demak; ia menyebarkan ajaran Islam
melalui pendekatan budaya dan sangat anti kekerasan; ia adalah menantu
Sunan Gunung Jati. Nama kecilnya Raden Mas Syahid (said) dan sering dijuluki Syekh Malaya. Nama Kalijaga berasal dari Qadizaka (Arab),
artinya pelaksana yang suci. Berbeda dengan wali yang lainnya, Sunan
Kalijaga dalam berdakwah selalu berkeliling dari daerah satu ke daerah
lainnya. Isi yang disampaikan sangat intelektual dan nyata. Sehingga
banyak masyarakat yang simpati terhadap Sunan Kalijaga. Karena jasanya
dalam berdakwah, Suna Kalijaga diberi hadiah oleh Raden Fatah sebagai
penguasa Kesultanan Demak Bintoro, berupa sebidang tanah di sebelah
tenggara Demak. Tanah tersebut merupakan desa perdikan (desa yang dibebaskan pajak oleh sultan).
Jabatan
yang diberikan kepadanya adalah juru dakwah kerajaan. Sunan Kalijaga
sangat berjasa dalam perkembangan wayang purwa atau wayang kulit yang
bercorak Islami seperti sekarang ini. Dia mengarang aneka cerita wayang
secara Islami, terutama berkaitan dengan etika atau adab. Berdakwah
melalui pertunjukkan wayang kulit inilah, masyarakat banyak yang
tertarik dan masuk Islam. Sunan Kalijaga wafat pada pertengahan abad
ke-15, dimakamkan di Kadilangu, Demak.
h. Sunan Kudus
Nama kecilnya Jafar Sadiq dengan panggilan Raden Undung atau Raden Amir Haji karena jasanya memimpin rombongan haji ke Mekah. Ayahnya bernama Raden Usman Haji yang
menyiarkan Islam ke daerah Jipang, Panolan, dan Blora. Menurut
silsilah, Sunan Kudus masih keturunan Nabi Muhammad Saw. Ilmunya cukup
tinggi dan ahli dalam ilmu fiqih, tauhid, hadis, tafsir, serta mantiq
(logika atau filsafat). Karena itulah ia mendapat julukan sebagai Wali al-‘ilmi (orang
yang ilmunya luas). Sunan Kudus sangat berambisi menggulingkan
Majapahit secara militer, ialah yang sangat menentang ajaran Syekh Siti Jenar yang cendering mistik; memiliki murid kesayangan yang bernama Arya Penangsang dari Jipang; namun ia sangat membenci Sunan Prawoto dari
Demak. Sunan Kudus dikenal juga sebagai panglima perang Kesultanan
Demak, Bintoro yang tangguh dan dipercaya untuk mengendalikan
pemerintahan di daerah Kudus, sehingga ia menjadi pemimpin pemerintahan
sekaligus pemimpin agama di daerah tersebut.
i. Sunan Gunung Jati
Nama lainnya adalah Syekh Nuruddin Ibrahim atau Syarif Hidayatullah,
berasal dari Pasai, Aceh, lalu berkedudukan di Gunung Jati, Banten dan
kemudian Cirebon untuk membentuk dinasti Islam di kedua tempat tersebut;
ia menikahi saudara perempuan Sultan Tranggana. Menurut sumber lokal, nama kecilnya adalah Syarif Hidayatullah yang merupakan cucu Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi. Dari perkawinan Prabu Siliwangi dengan Nyai Subang Larang, lahir dua putra dan satu putri yaitu Raden Walangsungsang, Nyai Lara Santang, dan Raja Senggara. Setelah ibunya wafat Raden Walangsungsang meninggalkan keraton untuk belajar Agama Islam pada Syekh Datu Kahfi atau Syekh Nurul Jati di
Gunung Ngamparan Jati. Dan adik perempuannya Nyai Lara Santang menyusul
belajar agama di tempat yang sama. Setelah tiga tahun menimba ilmu,
keduanya menunaikan ibadah haji. Di Mekah, Nyai Lara Santang mendapat
jodoh yaitu Maulana Sultan Mahmud (Syarif Abdullah), bangsawan Arab dari Bani Hasyim.
Walangsungsang
setelah ibadah haji kembali ke Jawa dan menjadi guru di Labuhan,
Pasambangan, Cirebon. Sementara itu Nyai Lara Santang melahirkan anak,
diberi nama Syarif Hidayatullah. Setelah dewasa Hidayatullah memilih
berdakwah di Pulau Jawa. Ia kemudian bersilaturahim kepada
Walangsungsang yang bergelar Cakrabuana. Setelah
pamannya wafat, Hidayatullah melanjutkan perjuangan pamannya menyebarkan
Islam di Cirebon dan Cirebon menjadi Kesultanan Islam yang bebas dari
Pajajaran. Dari Cirebon ia kemudian menyiarkan agama Islam ke
daerah-daerah Jawa Barat yang belum memeluk agama Islam, seperti
Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten. Di
Banten ia mendirikan kerajaan tahun 1525. Ketika kembali ke Cirebon,
Kesultanan Banten diserahkan kepada putranya, Maulana Hasanuddin yang
kemudian menurunkan raja-raja Banten. Di tangan raja-raja Banten inilah
kerajaan Hindu Pajajaran dapat dikalahkan dan rakyatnya memeluk Islam.
Bahkan, Syarif Hidayatullah menggerakkan penyerangan ke Sunda Kelapa.
Penyerangan itu dipimpin Faletehan (Fatahillah), panglima angkatan
perang Demak. Fatahillah kemudian menjadi menantu Syarif Hidayatullah.
Syarif Hidayatullah wafat tahun 1570 dimakamkan di daerah Gunung Jati,
desa Astana, Cirebon. Maka ia dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati.
j. Para Wali Lainnya
Para
wali memegang peranan yang besar dalam penyebaran Islam di Jawa. Dengan
kesabaran dan kearifan, agama Islam disampaikan kepada masyarakat
hingga diterima dan cepat berkembang di Jawa. Di samping Wali Sanga,
banyak wali lainnya ikut andil dalam pengembangan Islam di Jawa, meski
sebagian dibunuh dan tidak diakui oleh Wali Sanga, seperti:
(1) Syekh Subakir;
(2) Sunan Bayat atau Tembayat;
(3) Sunan Geseng;
(4) Syekh Mojoagung;
(5) Syekh Siti Jenar;
(6) Maulana Ishak dari Pasai, Aceh, mengislamkan rakyat Blambangan (Pasuruan dan sekitarnya) di Jawa Timur bagian timur;
(7) Syekh Jangkung; pernah berniat mendirikan masjid tanpa izin dan oleh Sunan Kudus akan dihukum mati namun diselamatkan oleh Sunan Kalijaga;
(8) Syekh Maulana;
berasal dari Krasak-Malang, dekat Kalinyamat, murid Sunan Gunung Jati;
karena pernah mempermalukan dalam perdebatan tentang ilmu mistik ia
dibunuh atas perintah Sunan Kudus.
Dari
Pulau Jawa, Islam lalu berkembang ke wilayah-wilayah lain di Indonesia.
Islamisasi ke Kalimantan dilakukan oleh para ulama utusan Demak.
Sedangkan Islam di Maluku, Ternate, dan Tidore disebarkan oleh Sultan
Ternate, Zainal Abidin, setelah belajar ke Giri, Jawa
Timur. Makassar diislamkan oleh para mubalig dari Sumatera dan Malaka
(Malaysia). Kemudian, orang Makassar mengislamkan orang Lombok dan
Sumbawa di Nusa Tenggara Barat antara tahun 1540-1550. Sementara itu,
penduduk Flores di Nusa Tenggara Timur diislamkan oleh orang Bugis.
Agama
Islam masuk ke Nusantara dengan jalur berlainan. Seperti di luar Jawa
yakni Sulawesi, penyebar agama Islam di Sulawesi bernama Dato’ri Bandang. Di Kutai, Kalimantan Timur penyebar agama Islam adalah Dato Bandang dan Tuang Tunggang. Peran seorang penghulu di Demak tidak kalah pentingnya dalam penyebaran agama Islam, melalui pengajaran kepada Sultan Suryanullah. Dan masih banyak lagi tokoh yang berperan syiar Islam ke seluruh Nusantara.
Proses
islamisasi di Nusantara dapat dikatakan relatif mudah. Hubungan secara
tidak langsung antara pedagang muslim antara lain, para mubaligh,
ustadz, ahli-ahli tasawuf telah menerapkan ajarannya melalui kesepakatan
perdagangan yang tidak berbelit-belit.
Golongan
penerima Islam juga melakukan tindakan yang sama, yakni menyebar
ajarannya pada masyarakat sekitarnya. Bahkan jika ia seorang bangsawan
atau pejabat keraton akan lebih memperlancar jalannya penyebaran
tersebut. Berdirinya tempat peribadatan seperti langgar, masjid, majelis
taklim, dan sebagainya digunakan juga sebagai syiar agama Islam.
Seni
juga menjadi salah satu saluran proses islamisasi di Nusantara.
Cabang-cabang seni yang lebih mudah penyentuh hati masyarakat sekitar
adalah seni bangun, seni pahat, seni ukir, seni qasidah, dan sebagainya.
Bukti-bukti perkembangannya adalah bangunan Masjid Agung, Demak,
Cirebon, Bantem, Banda Aceh yang kemudian menjadi pusat kegiatan syiar
Islam ke daerahnya. Di Keraton Cirebon juga kita temukan seni ukir yang
bercorak Islami yaitu ukiran lafal ayat-ayat Al Qur’an.
0 komentar:
Posting Komentar